Menikah kadang kala bukan karena saling suka atau saling cinta, namun tak jarang itu menjadi tuntutan keluarga dan lingkungan. Namun bagaimana jika kaum bottom dipaksa menikah dengan perempuan?
Berbeda dengan kaum top yang secara orientasi lebih sebagai subyek dalam berhubungan, kaum bottom justru sebaliknya. 3 hal ini bisa terjadi ketika mereka akhirnya harus menikah dengan perempuan.
1. Kikuk di malam pertama
Sebagai lelaki, dalam berhubungan seks memang harus menjadi subyek. Namun bottom berbeda. Selama ini mereka memposisikan diri sebagai obyek, pasif layaknya perempuan. Sementara setelah menikah mereka harus memainkan perannya sebagai "lelaki tulen".
Tak jarang yang akhirnya gagal melakukan hubungan intim pada hari-hari awal, karena bottom merasa tak memiliki gairah. Bottom akan sering beralasan sedang tidak fit atau lelah. Padahal, sebenarnya mereka sama sekali tak memiliki mood.
2. Komunikasi yang minim
Meski akhirnya sudah sah sebagai pasangan suami-istri, bottom akan sangat jarang melakukan komunikasi intens layaknya pasangan yang baru menikah. Mereka cenderung dingin, dan seperti orang yang belum begitu kenal namun harus menjalani tuntutan yang besar.
3. Merasa terbebani dan sering menangis
Ada goncangan psikologis yang kuat dalam diri seorang bottom, ketika ia harus merubah posisinya yang semula pasif menjadi aktif. Harus dituntut menjadi pemimpin pasangannya. Disatu sisi, tekanan juga mungkin muncul dari orang sekitar dan kekuarga yang mengomentari sikap-sikapnya yang dirasa tidak layak sebagai seorang suami.
Rasa tertekan ini tak jarang membuat bottom justru sering menangis, bahkan dibandingkan istrinya sendiri.
Bottom yang pada akhirnya berhasil menjalani kehidupan rumah tangga yang langgeng, rata-rata adalah mereka tipe rasional yang menganggap pernikahan sebagai kontrak budaya.
Namun 3 hal di atas memang sering terjadi pada bottom yang akhirnya terpaksa harus menikahi perempuan. (Boy/Ath)
loading...
Tags:
lgbt
